“Aku nggak percaya Tuhan.”
Saya menyampaikannya dengan lembut. Dalam bis yang dipadati bunyi mesin serta nafas orang-orang yang telah merasa letih akan hidup, kata-kata tersebut terdengar bagai ledakan halus. Namun begitu nyaring. Akan tetapi Tuhan tak memberikan respons apa pun. Ia masih duduk di sebelah saya, memandangi panorama dari balik kaca jendela, seolah tengah mencacahkan banyaknya pepohonan yang mampu bertahan di tepi jalur toll.
Saya berbalik. “Kamu dengar, bukan?”
Tuhan menyetujui dengan anggun. Seolah-olah ia sepakat namun tak berniat untuk berdebat.
Maka… mengapa Engkau tetap berada di sini?
Tuhan terdiam lalu berkata dengan senyuman. Tidak ada raut angkuh atau penilaian dalam wajah-Nya. Hanyalah sebuah senyuman yang membuat tidak nyaman, seolah-olah semua rahasia dan kebingungan seseorang telah dilihat tanpa adanya penghakiman.
Sebab duduk tidak memerlukan syarat,” ujarnya. “Tidak perlu untukpercaya terlebih dahulu.
Saya menghela nafas. “Namun, menurut orang lain, saya keliru. Tidak memiliki panduan. Tiada tujuan. Dan bingung membedakan kebenaran.”
Tuhan duduk dengan tenang dan bertanya, “Apakah mereka selalu sadar akan jalannya?”
Saya diam. Diluar sana, hujan perlahan mulai jatuh. Lembut. Seolah-olah langit tengah bimbang antara keinginan untuk meneteskan air mata atau hanya mengeluarkan kabut.
Sekali waktu, saya pernah yakin,” ujarku setelah itu. “Sempat berdoa, rutin melaksanakan salat, bahkan sesekali meneteskan air mata ketika sujud. Namun pada akhirnya, semua hal tersebut menjadi hampa. Seolah-olah saya hanya bercakap-cakap dengan tembok. Seolah Engkau… telah lenyap.
Tuhan memandangku. Mata-Nya tak bersinar. Tiada efek khusus. Cuma… damai. Entah mengapa, rasanya seperti sedang bercakap dengan seseorang yang sungguh paham tentang pengertian hilangnya makna.
“Kau marah?” tanyaku.
“Enggak.”
“Kau kecewa?”
Tuhan menggelengkan kepala. “Kesalahan adalah milik manusia. Saya tidak memiliki egom yang perlu dipertahankan.”
Saya menghela nafas dalam-dalam. “Maka jika saya katakan bahwa saya seorang ateis, kau tidak akan terganggu?”
Tuhan terkikik lembut. Bukan untuk mengolok-olok. Melainkan lebih seperti… merasa lega.
Ini adalah salah satu pembicaraan terjelas yang kuperhatikan hari ini.
Saya diam sejen. Sangat lama. Kemudian dengan suara lembut, saya katakan, “Aku tidak membencai Tuhan. Saja hanya ragu keberadaan Tuhan.”
Serta kau berbicara dengan jujur. Ada banyak orang yang menyatakan diri mereka percaya, namun kehidupannya tidak menunjukkan apapun selain ketakutan akan hukuman. Justru kau mengaku enggan untuk mempercayai, tetapi sebenarnya kau sedang mencari jawaban dan rajin bertanya.
Saya melihat ke arah-Nya. Kali ini untuk waktu yang cukup lama. “Jadi hal utamanya bukannya keyakinan?”
“Yang penting itu… hadir.”
Saya menganggukkan kepala lembut. Ucapan tersebut bersarang seperti kopi yang didiamkan di cangkir jernih—tidak langsung panas, tetapi secara bertahap merubah temperatur hati.
Namun jika saya tidak percaya pada Tuhan, siapakah orang yang kini menduduki tempat di samping saya?
Tuhan tersenyum. “Bukan mungkin Tuhan. Bisa jadi hanyalah seorang manusia, atau entitas yang siap mendengarmu tanpa ada persyaratan apapun.”
Aatau mungkin,” ujarku, “aku hanya berbicara dengan sisi paling dalam dari diriku yang selama ini tidak pernah kuberi kesempatan untuk bersuarakan.
“Dan itu saja yang dibutuhkan,” kata Tuhan.
Kami terdiam. Diluar sana, hujannya semakin lebat. Bisnya melaju perlahan. Namun anehnya, kali ini setelah sekian lama, rasanya tak lagi kesepian.
Mungkin, ini adalah titik awal keimanan yang paling tulus. Bukan dari sekedar rangkaian doktrin. Disitulah, duduk di bangku bis kelas ekonomi, berada di antara deru kipas angin dan aroma jas hujan yang lembab, serta menghadapi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban namun tak lagi dibantahkan.
———-
Patas tanpa AC – Bekasi-Blok M, 1996